God Always Has a Better Plan

by - July 13, 2019


Hai, lama tidak menyapa dengan seberkas tulisan.
Setelah sekian lama, akhirnya saya tahu apa yang harus saya tulis disini, semoga bisa menginspirasi bagi kalian yang membacanya.

2019, tahun terakhir saya duduk di bangku sekolah. Tahun ini menjadi akhir bagi saya untuk mengenakan seragam sekolah sebelum melangkahkan kaki ke perguruan tinggi alias gerbang dimana masa depan baru dimulai. Tahun ini nggak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini benar-benar hectic karena segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik sebelum lulus dari putih abu-abu.


Perguruan tinggi, dua kata yang selalu ada di pikiran siswa-siswi SMA menjelang pelulusan. Semua pada bingung bakalan melanjutkan studi dimana, padahal jauh sebelum masuk SMA pun pasti mereka sudah memikirkan perguruan tinggi mana yang akan mereka tuju. Hal itu terjadi pada diri saya sendiri. Sebelum masuk SMA, saya bertekad pengen kuliah di jurusan kedokteran gigi di sebuah perguruan tinggi negeri yang paling terkenal di Pulau Sulawesi. Waktu itu saya belum tahu kalau ternyata untuk menuju kesana bakalan banyak lika-likunya, nggak semulus yang saya kira.

Dan jadilah, saya belajar mati-matian dari kelas 10, yang namanya tugas nggak pernah saya lewatkan dan selalu kumpul tepat waktu. Karena cita-cita saya bisa dibilang tinggi, saya pengen lulus di jurusan kedokteran gigi melalui jalur bebas tes alias SNMPTN, maka usaha yang saya lakukan pun harus benar-benar maksimal. Memang berbuah manis, grafik nilai saya naik setiap semester dan nama saya tak pernah lengser dari peringkat lima besar. 

Awalnya saya kira itu adalah awal yang baik, yang mungkin bisa memudahkan saya menggapai cita-cita untuk berkuliah disana ditengah banyaknya saingan yang berusaha mengalahkan saya. Namun, ternyata tidak. Kebingungan mulai datang saat saya berkonsultasi kepada seseorang tentang jurusan yang akan saya pilih. Saya mulai menentukan tiga pilihan jurusan dan di kampus mana saya akan berkuliah. Saya kira memilih jurusan pendidikan dokter gigi dan pendidikan dokter di dua universitas berbeda bakalan sah-sah saja, ternyata orang itu bilang tidak. Bukan tidak bisa, lebih tepatnya riskan, yang artinya jika dipaksakan maka siap-siap gagal. Kalau kalian bertanya, kenapa ngotot pengen mendaftar dengan jurusan yang banyak peminat itu? Jawabannya simpel, saya pengen jadi dokter seperti kedua orangtua saya. Akhirnya saya berpikir lagi, kira-kira jurusan apa yang cocok dengan saya selain pendidikan dokter atau dokter gigi. Sempat terbesit di pikiran saya untuk mengambil jurusan teknik arsitektur karena saya memang senang menggambar dan merancang sesuatu, tapi orangtua seperti kurang setuju. Mereka satu suara dengan tujuan utama saya, yaitu menjadi seorang dokter.

Kebingungan mulai datang kembali saat tiga pilihan SNMPTN diubah menjadi dua pilihan, artinya peluang saya semakin kecil. Hanya ada dua pilihan dan sampai hari dimana saya mendapatkan undangan bebas tes dari sekolah, saya masih bingung. Awalnya saya optimis kalau saya pasti lulus di PTN yang terkenal itu, tapi makin lama saya insecure sama diri sendiri. Yang awalnya optimis bakalan milih kedokteran gigi akhirnya mundur dan lebih memilih farmasi sebagai pilihan kedua. Dan jadilah pilihan saya saat SNMPTN adalah pendidikan dokter dan farmasi di satu universitas yang ada di kota saya. Kenapa milih farmasi? Jawabannya karena saya suka belajar kimia. Kenapa nggak milih universitas yang sejak dulu saya impikan itu? Jawabannya, sekali lagi, saya insecure sama diri sendiri alias takut gagal.

Kalau kalian nanya, kenapa pengen banget lulus lewat jalur bebas tes? Karena saya nggak mau berhadapan sama soal-soal SBMPTN yang katanya sulit minta ampun. Saya pengennya sebelum hari kelulusan, saya sudah tahu bakalan melangkah kemana bukannya masih abu-abu seperti orang tanpa tujuan. Dan tibalah hari dimana pengumuman SNMPTN dibuka, saya hanya bisa menunggu tapi saya optimis kalau saya bakalan lulus karena universitas yang saya pilih bisa dibilang peminatnya belum terlalu banyak. Namun, semesta berkata lain, saya dinyatakan nggak lulus. Ketika saya melihat pengumuman berwarna merah itu, yang saya lakukan hanya bisa menangis sambil menyesali diri sendiri. Mau nggak mau, saya harus berhadapan sama SBMPTN. Dan kalau saya gagal lagi, bisa-bisa saya gap year sementara teman-teman saya yang lain sudah mengenakan almamater masing-masing.

Saya nggak mau terlalu larut dalam tangisan, lagipula tangisan itu nggak bakalan mengubah pengumuman saya yang tadinya merah jadi warna hijau. Yang saya bisa lakukan hanyalah membuka buku latihan soal yang sangat tebal dan mulai belajar. Saya akui saya memang benar-benar terlena dengan keadaan sampai nggak pernah mempersiapkan diri sama sekali untuk ikut ujian itu.

Saat hari pendaftaran SBMPTN, saya masih nggak mau nyerah untuk jadi dokter. Saya masih tetap memilih kedokteran di pilihan pertama, tapi di pilihan kedua saya memilih teknik arsitektur. Saya nggak tahu kenapa saya tiba-tiba memutuskan untuk memilih jurusan yang itu. Tapi saya tetap optimis seraya berdoa, "Ya Allah, kalau memang ini yang terbaik, maka mudahkanlah segala sesuatunya."

Dan 9 Juli menjadi hari yang paling bersejarah. Saya dinyatakan lulus prodi teknik arsitektur. Saya menangis bahagia, tentu saja. Selama menunggu pengumuman, yang ada di pikiran saya hanyalah gap year, gap year, dan gap year.

Ternyata memang benar, Allah selalu punya rencana yang lebih baik. Saya yang awalnya pengen kuliah kedokteran, ternyata lulus di teknik arsitektur. Kalau ada yang nanya, apa saya seneng lulus di pilihan kedua? Jawabannya senang sekali. Terlepas dari saya lulus di pilihan mana, saya bersyukur karena tahun ini saya nggak diizinkan untuk gap year. Toh jurusan teknik arsitektur memang pilihan saya sendiri dan orangtua ternyata tetap mendukung.

Jadi, buat kalian yang mungkin masih gagal di tahun ini, ingat kalau Allah nggak pernah membiarkan kita terpuruk dalam suatu keadaan. Kalian harus percaya, kalau Dia selalu punya rencana yang lebih baik.

You May Also Like

0 comments